Kembali ke Budaya

Muhammadiyah dan Budaya Lokal


Zulki AhiliZulki Ahili

REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Kebudayaan memang jadi karakter Muhammadiyah yang kurang mendapat perhatian. Padahal kata Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof Biyanto, sejatinya organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu merupakan gerakan kebudayaan.

Selama ini, pemerhati dari dalam dan luar memosisikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, nasional, dakwah, dan tajdid. Selain itu juga ada yang memosisikan sebagai gerakan yang sukses mengembangkan amal usaha, terutama pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial.

Dari konteks itu, perhatian terhadap Muhammadiyah sebagai gerakan kebudayaan perlu dikedepankan. Maka itu, sebagian mencanangkan pentingnya implementasi konsep dakwah kultural.

Wacana ini sudah dibicarakan sejak Tanwir di Bali 2002, Makassar 2003, dan Mataram 2004. Bahkan, dalam Muktamar ke-45 di Malang pada 2005 soal dakwah kultural kala itu sempat menjadi perbincangan yang cukup se­rius. Bagi Biyanto, keputusan agar Muhammadiyah memakai strategi dakwah kultural, ini penting untuk perkembangan persyarikatan.

Sebab, selama ini dakwah Muhammadiyah kurang meng­akomodasi budaya lokal. "Juru dakwah Muhammadiyah tampak kurang terampil menjadikan adat istiadat dan budaya lokal sebagai media dakwah, bahkan dalam tingkat tertentu juru dakwah sering menghantam adat istiadat dan budaya lokal," ujarnya.

Kondisi itu yang membuat dakwah Muhammadiyah terasa ku­rang akomodatif terhadap adat istiadat dan budaya lokal. Dampaknya, belum semua kalangan masyarakat tersentuh dengan dakwah pencerahan Muhammadiyah. Jika mengikuti ijtihad Muhammadiyah generasi awal, maka organisasi ini harus kembali meneguhkan semangat dakwah dengan mengakomodasi budaya lokal.

Berciri dinamis

Dakwah kultural berciri dinamis, kreatif, dan inovatif. Itu berarti, dakwah kultural menuntut juru dakwah mencoba memahami ide-ide, adat istiadat, kebiasaan, nilai-nilai, norma, sistem aktivitas, simbol, dan lain-lain. ‘’Yang memiliki makna tertentu dan hidup subur dalam kehidupan masyarakat," kata Biyanto.

Ia mengingatkan, dakwah kultural Muhammadiyah dimaksudkan agar dakwah lebih lentur dan fleksibel. Untuk itu, Muhammadiyah harus terus melakukan pembinaan ke juru dakwah lewat wawasan agar mampu melihat budaya lokal dari sisi dalam. Dengan perspektif ini, bisa saja bermunculan juru dakwah yang menjadi­kan kearifan lokal sebagai media dakwah.

Prof Chamamah Soeratno menambahkan, budaya itu bukan sekadar nyanyian, tarian, puisi, dan sebagianya. Budaya justru meliputi kehidupan menyeluruh yang mana semua pengertian budaya menunjukkan budaya sebagai ekspresi hidup.

Menurutnya ada tiga hakekat budaya yang dimulai dari konsep ide, dan tidak lain merupakan Islam. Lalu, tata aturan yang muncul dari ide-ide Islam, yang mau tidak mau, itu merupakan pengertian sesungguhnya dari budaya.

Terakhir, ekspresi dalam bentuk benda atau apa saja yang muncul. Misal­kan, konsep Islam mengatakan perem­puan yang sudah baliq harus tutup aurat, lalu ada tata aturan dalam menutup aurat, dan ada produk-produk yang jadi artefaknya.

"Ratusan dan ribuan pengertian budaya di dunia seperti itu, tapi kesalahan sekarang ini kalau membaca budaya cuma nyanyian, tarian, puisi, dan lain-lain, itu baru satu dari tujuh ekspresi budaya," kata Chamamah.

Share

1-8 of 8

Reply to this discussion

You cannot edit posts or make replies: You should be logged in before you can post.

Post a reply
1179 views