#
Hadits mutawatir
Share
amirah said:
Mengapa dalam Akidah hanya menggunakan hadits yang mutawatir?
upaya moderasi untuk mengkompromikan pendapat-pendapat yang berbeda itu, coba dilakukan oleh Yusuf al-Qaradhawi. Walaupun mungkin tidak secara eksplisit, namun menurut penulis apa yang dilakukan Yusuf al-Qaradhawi ketika mengklasifikasikan akidah dalam bukunya “al-Sunnah Mashdaran lil Ma’rifah wa al-Hadharah” bisa diaggap sebagai upaya pengkompromian. Dalam bukunya itu, ulama yang memang terkenal dengan kemoderatannya ini, mengklasifikasikan akidah menjadi dua; akidah asasi (al-‘aqidah al-asasi) dan akidah furu’i (al-‘aqidah al-furu’i). Dimaksud yang pertama adalah pokok-pokok akidah dan rukun-rukunnya, seperti keimanan kepada Allah, meyakini keesaan-Nya, mengakui nabi muhammad sebagai utusan-Nya, yakin akan adanya hari kebangkitan, dan lain sebagainya. Untuk akidah ini telah ada penjelasannya dalam al-Qur’an dan memang ia telah cukup sebagai landasan dalil dalam masalah ini. Kalaupun ada hadis yang menjelaskan kembali, maka itu sifatnya sebagai penguat (ta’kid) dan perinci (tafshil). (al-Qaradhawi, 2002: 94-9) Adapun dimaksud yang kedua adalah akidah yang sifatnya furu’i, sehingga bisa (baca: cukup) ditetapkan dengan hadis yang shahih, seperti pertanyaan dua malaikat di alam kubur, siksa dan nikmat kubur, syafa’at bagi para pelaku dosa besar kelak di hari kiamat, dan lain sebagainya. Satu syarat yang dikemukakan pula bahwa macam akidah ini harus bisa dinalar akal (dilogikakan). (al-Qaradhawi, 2002: 95).
izzani4 said:
amirah said:
Mengapa dalam Akidah hanya menggunakan hadits yang mutawatir?
upaya moderasi untuk mengkompromikan pendapat-pendapat yang berbeda itu, coba dilakukan oleh Yusuf al-Qaradhawi. Walaupun mungkin tidak secara eksplisit, namun menurut penulis apa yang dilakukan Yusuf al-Qaradhawi ketika mengklasifikasikan akidah dalam bukunya “al-Sunnah Mashdaran lil Ma’rifah wa al-Hadharah” bisa diaggap sebagai upaya pengkompromian. Dalam bukunya itu, ulama yang memang terkenal dengan kemoderatannya ini, mengklasifikasikan akidah menjadi dua; akidah asasi (al-‘aqidah al-asasi) dan akidah furu’i (al-‘aqidah al-furu’i). Dimaksud yang pertama adalah pokok-pokok akidah dan rukun-rukunnya, seperti keimanan kepada Allah, meyakini keesaan-Nya, mengakui nabi muhammad sebagai utusan-Nya, yakin akan adanya hari kebangkitan, dan lain sebagainya. Untuk akidah ini telah ada penjelasannya dalam al-Qur’an dan memang ia telah cukup sebagai landasan dalil dalam masalah ini. Kalaupun ada hadis yang menjelaskan kembali, maka itu sifatnya sebagai penguat (ta’kid) dan perinci (tafshil). (al-Qaradhawi, 2002: 94-9) Adapun dimaksud yang kedua adalah akidah yang sifatnya furu’i, sehingga bisa (baca: cukup) ditetapkan dengan hadis yang shahih, seperti pertanyaan dua malaikat di alam kubur, siksa dan nikmat kubur, syafa’at bagi para pelaku dosa besar kelak di hari kiamat, dan lain sebagainya. Satu syarat yang dikemukakan pula bahwa macam akidah ini harus bisa dinalar akal (dilogikakan). (al-Qaradhawi, 2002: 95).
izzani4 said:
amirah said:
Mengapa dalam Akidah hanya menggunakan hadits yang mutawatir?
upaya moderasi untuk mengkompromikan pendapat-pendapat yang berbeda itu, coba dilakukan oleh Yusuf al-Qaradhawi. Walaupun mungkin tidak secara eksplisit, namun menurut penulis apa yang dilakukan Yusuf al-Qaradhawi ketika mengklasifikasikan akidah dalam bukunya “al-Sunnah Mashdaran lil Ma’rifah wa al-Hadharah” bisa diaggap sebagai upaya pengkompromian. Dalam bukunya itu, ulama yang memang terkenal dengan kemoderatannya ini, mengklasifikasikan akidah menjadi dua; akidah asasi (al-‘aqidah al-asasi) dan akidah furu’i (al-‘aqidah al-furu’i). Dimaksud yang pertama adalah pokok-pokok akidah dan rukun-rukunnya, seperti keimanan kepada Allah, meyakini keesaan-Nya, mengakui nabi muhammad sebagai utusan-Nya, yakin akan adanya hari kebangkitan, dan lain sebagainya. Untuk akidah ini telah ada penjelasannya dalam al-Qur’an dan memang ia telah cukup sebagai landasan dalil dalam masalah ini. Kalaupun ada hadis yang menjelaskan kembali, maka itu sifatnya sebagai penguat (ta’kid) dan perinci (tafshil). (al-Qaradhawi, 2002: 94-9) Adapun dimaksud yang kedua adalah akidah yang sifatnya furu’i, sehingga bisa (baca: cukup) ditetapkan dengan hadis yang shahih, seperti pertanyaan dua malaikat di alam kubur, siksa dan nikmat kubur, syafa’at bagi para pelaku dosa besar kelak di hari kiamat, dan lain sebagainya. Satu syarat yang dikemukakan pula bahwa macam akidah ini harus bisa dinalar akal (dilogikakan). (al-Qaradhawi, 2002: 95).
. . Muhammadiyah dalam Manhaj Tarjih menyatakan hanya menggunakan Hadits Mutawatir perihal Aqidah, dan tidak menggunakan Hadits Ahad. Sebab Hadits yang Mutawatir lebih kuat dari segi periwayatan.
Muhammadiyah dalam Manhaj Tarjih menyatakan hanya menggunakan Hadits Mutawatir perihal Aqidah, dan tidak menggunakan Hadits Ahad. Sebab Hadits yang Mutawatir lebih kuat dari segi periwayatan.
Muhammadiyah dalam Manhaj Tarjih menyatakan hanya menggunakan Hadits Mutawatir perihal Aqidah, dan tidak menggunakan Hadits Ahad. Sebab Hadits yang Mutawatir lebih kuat dari segi periwayatan.
Muhammadiyah dalam Manhaj Tarjih menyatakan hanya menggunakan Hadits Mutawatir perihal Aqidah, dan tidak menggunakan Hadits Ahad. Sebab Hadits yang Mutawatir lebih kuat dari segi periwayatan.
Muhammadiyah dalam Manhaj Tarjih menyatakan hanya menggunakan Hadits Mutawatir perihal Aqidah, dan tidak menggunakan Hadits Ahad. Sebab Hadits yang Mutawatir lebih kuat dari segi periwayatan.
Muhammadiyah dalam Manhaj Tarjih menyatakan hanya menggunakan Hadits Mutawatir perihal Aqidah, dan tidak menggunakan Hadits Ahad. Sebab Hadits yang Mutawatir lebih kuat dari segi periwayatan.
Muhammadiyah dalam Manhaj Tarjih menyatakan hanya menggunakan Hadits Mutawatir perihal Aqidah, dan tidak menggunakan Hadits Ahad. Sebab Hadits yang Mutawatir lebih kuat dari segi periwayatan.
Muhammadiyah dalam Manhaj Tarjih menyatakan hanya menggunakan Hadits Mutawatir perihal Aqidah, dan tidak menggunakan Hadits Ahad. Sebab Hadits yang Mutawatir lebih kuat dari segi periwayatan.
Muhammadiyah dalam Manhaj Tarjih menyatakan hanya menggunakan Hadits Mutawatir perihal Aqidah, dan tidak menggunakan Hadits Ahad. Sebab Hadits yang Mutawatir lebih kuat dari segi periwayatan.
Muhammadiyah dalam Manhaj Tarjih menyatakan hanya menggunakan Hadits Mutawatir perihal Aqidah, dan tidak menggunakan Hadits Ahad. Sebab Hadits yang Mutawatir lebih kuat dari segi periwayatan.
asmaulhusna12 said:
Rayhan_btk said:
Krna dalam akidah tidak menggunakan hadits ahad
Iya betul, tapi
Tapi ada juga Ulama yang membolehkan memakai hadits ahad
asmaulhusna12 said:
Rayhan_btk said:
Krna dalam akidah tidak menggunakan hadits ahad
Iya betul, tapi
Tapi ada juga Ulama yang membolehkan memakai hadits ahad
asmaulhusna12 said:
Rayhan_btk said:
Krna dalam akidah tidak menggunakan hadits ahad
Iya betul, tapi
Tapi ada juga Ulama yang membolehkan memakai hadits ahad
asmaulhusna12 said:
asmaulhusna12 said:
Rayhan_btk said:
Krna dalam akidah tidak menggunakan hadits ahad
Iya betul, tapi
Tapi ada juga Ulama yang membolehkan memakai hadits ahad
👍👍👍
Reply to this discussion
You cannot edit posts or make replies: You should be logged in before you can post.