Siti Baroroh Baried membikin gempar dunia pendidikan nasional. Pada 27 Oktober 1964, ia diangkat menjadi Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Apa yang aneh?
Pengangkatan ini amat istimewa. Ia mencetak sejarah sebagai guru besar perempuan pertama, bahkan pada usia yang masih 39 tahun. Dengan kata lain, seperti yang ditulis Adaby Darban dalam artikel “Lintasan Sejarah Kauman Jogjakarta" (2015), Siti Baroroh Baried adalah profesor perempuan pertama di Indonesia.
Baca juga: Rahmah El Yunusiyah Memperjuangkan Kesetaraan Muslimah Tak hanya dikenal sebagai aktivis perempuan, Siti Baroroh Baried memang juga seorang pakar bahasa. Selama dua periode, 1965-1968 dan 1968-1971, ia menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra UGM, serta Ketua Jurusan Asia Barat Fakultas Sastra UGM periode 1963-1975. Ia juga turut mengelola penerbitan Majalah Suara 'Aisyiyah.
Banyak karya Siti Baroroh terkait pembelajaran mengenai filologi, ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah; sebut saja Bahasa Arab dan Perkembangan Bahasa Indonesia (1970), Bahasa Indonesia sebagai Infrastruktur Pembangunan (1980), Panji: Citra Pahlawan Nusantara (1980), Pengantar Teori Filologi (1985), Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia (1985), Kedatangan Islam dan Penyebarannya di Indonesia (1989), dan masih banyak lainnya.
Siti Baroroh dilahirkan di Yogyakarta pada 23 Mei 1925. Ia masih berkerabat dekat dengan Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan. Ayahnya, H. Tamim bin Dja’far, adalah keponakan dari istri pendiri Muhammadiyah itu.
Baca juga: Meneladani Perjuangan dan Kesetiaan Nyai Ahmad Dahlan Perempuan yang lahir di Kauman—kampung tempat didirikannya Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 1912—ini lebih dikenal dengan nama Siti Baroroh Baried. Ia mencantumkan nama depan suaminya, Baried Ishom, seorang dokter spesialis bedah yang pernah menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Selain Nyai Ahmad Dahlan, Siti Baroroh Baried barangkali merupakan salah satu sosok wanita paling berpengaruh dalam sejarah panjang Muhammadiyah dan tentu saja 'Aisyiyah. Abd. Rohim Ghazali dalam tulisan di kolom Geotimes.co.id (2016) dengan judul “Kartini-Kartini Muhammadiyah" bahkan menyebut Siti Baroroh sebagai tokoh perempuan Muhammadiyah yang tergolong langka.
Selangka apakah sebenarnya sosok Siti Baroroh Baried?
Salah satunya seperti yang telah dikatakan oleh Norma Sari, bahwa Siti Baroroh pernah masuk jajaran pimpinan Muhammadiyah. Dan teramat jarang kala itu seorang wanita bisa menembus level terhomat tersebut, bahkan hingga kini.
Menurut Mu’arif, peneliti sejarah sekaligus Redaktur Eksekutif Majalah Suara Muhammadiyah, kepada Tirto.id, Siti Baroroh Baried masuk ke jajaran pemimpin PP Muhammadiyah pada era Muhammad Yunus Anis (1959-1962). Siti Baroroh bukan terpilih dalam muktamar, melainkan masuk melalui jalur tambahan, seperti halnya Noordjannah Djohantini dalam kepengurusan PP Muhammadiyah periode 2015-2020.
Baca juga: Saat Haji Misbach Menyerang Muhammadiyah Di kalangan 'Aisyiyah yang merupakan organisasi sayap perempuan Muhammadiyah, nama Siti Baroroh Baried memang telah melegenda. Ia adalah Ketua Umum PP 'Aisyiyah terlama yang menjabat dalam 5 periode secara beruntun, yakni 1965-1968, 1968-1971, 1971-1974, 1974-1977, dan 1978-1981.
Selain aktif di 'Aisyiyah dan Muhammadiyah, Siti Baroroh Baried juga pernah masuk dalam kepengurusan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.