Jika ditilik kebelakang, pada IPM periode 1995-1998 di PP IPM dikembangkan lembaga pembantu pimpinan yang diberi tugas khusus untuk mengerjakan agenda agenda pelatihan dan peningkatan kapasitas. Lembaga tersebut antara lain Lembaga Pengembangan Sumberdaya Insani (LaPSI), Lembaga Pengembangan Strategi Dakwah Pelajar (LPSDR), Bengkel Seni Ufuk dan beberapa tahun kemudian disusul oleh lahirnya Alifah yang konsern pada isu gender dan Bina Mentari yang fokus pada konselin dan pendampingan.
Lembaga-lembaga itulah yang dalam perjalanan mengalami perjumpaan dengan pelatihan-pelatihan organisasi non pemerintah (Ornop/NGO) yang mengusung pendidikan popular dengan diinspirasi oleh filsafat pendidikan Freire.
Meski demikian, pada penghujung kekuasaan Orde Baru itu, diinternal PP IPM sendiri berkembang dinamika antara lain: pertama, adanya keinginan untuk memotong generasi. Hal ini dilakukan karena tingginya usia aktivis IPM waktu itu. Menurut M. Izzul Muslimin, bapak-bapak PP Muhammadiyah meminta agar pengurus PP IPM maksimal 25 tahun. Maka pada Muktamar Cirebon 1986 diberlakukanlah aturan itu.
Kedua, perubahan nomenklatur dari IRM ke IPM. Sudah jamak diketahui bahwa pascakeluarnya UU Nomor 3 Tahun 1985 yang mengatur mengenai Pancasila sebagai azas tunggal. Termasuk memaksakan kepada seluruh organisasi Pelajar untukmerubahan nomenklatur Pelajar. Diinternal IPM sendiri terjadi dinamika yang cukup tajam. Meski demikian pada akhirnya IPM menerima perubahan menjadi IRM. Perubahan ini juga sekaligus menandai perubahan basis sosial dari pelajar kepada remaja yang dalam banyak hal membuka ruang dialektika zaman yang lebih besar.
Ketiga, perubahan basis sosial dari pelajar ke remaja sekaligus menandai perubahan cara pandang dari yang “ekslusif” ke cara pandang yang “inklusif”. Termasuk dalam hal ini perkaderan IPM yang ditandai dengan perubahan sistem perkaderan pada tahun 1994 di Malang.
Intensitas pelatihan yang berkembang mengantar kader -kader IPM pada kritik atas sistem perkaderan yang lama. Periode 2000-2002 melakukan sejumlah kajian dan studi sistem perkaderan, termasuk pada Taruna Melati Utama (TMU) yang diselenggarakan pada tahun 2001 di Tawangmangu, Jawa Tengah. Salah satu narasumber yang memberikan prasaran sekaligus menfasilitasi pelatihan yaitu Dr. Mansour Faqih, seorang tokoh Ornop/NGO yang menjadi pemikir pendidikan popular. Input proses TMU itu kemudian banyak mempengaruhi cara pandang dan pikiran para aktivis IPM ketika itu.
Pada tahun 2002 diselenggarakan workshop sistem perkaderan dan lokakarya sistem perkaderan IPM di Makassar. Diforum lokakarya itu kemudian disepakati pointpoint mendasar sistem perkaderan IPM seperti nilai kritis dan keadilan sosial, lalu pembagian perkaderan IPM yaitu antara yang formal (utama, pendukung dan pelengkap) dan non formal. Termasuk dalam hal ini disepakati penggunaan fasilitator sebagai pengelola perkaderan dan pendampingan yang dalam sistem perkaderan lama dikenal dengan instruktur.