Student Earth Generation (SEG) adalah salah satu bentuk agenda aksi dari konservasi ekologi yaitu membentuk pelajar untuk peduli pada aksi-aksi bidang lingkungan. Bentuk aksi dari Student Earth Generation ini dapat fleksibel sesuai dengan ranah masing masing. Dimulai dari gerakan paling ringan yaitu memisahkan-mendaur sampai menjadi barang yang siap guna. Student Earth Generation ini pula tidak hanya berhenti pada tahapan sampah saja namun pada persoalan lingkungan. Realitas sosial yang terjadi Lingkungan kita telah banyak mengalami kerusakan.
Kerusakan lingkungan memberikan dampak negatif terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itu, diperlukan cara - cara mengatasi kerusakan lingkungan maka Student Earth Generation ini bergerak dalam beberapa lini diantaranya :
▪ Reboisasi atau penghijauan di lahan yang telah rusak,
▪ Mencegah penebangan liar dengan melakukan aksi Campaign,
▪ Mengurangi penggunaan bahan bakar fosil,
▪ menggantinya dengan bahan bakar alternative,
▪ Melakukan gerakan kampanye penggunaan kantong kresek yang dapat di daur ulang,
▪ Membuat sengkedan di daerah lereng pegunungan yang digunakan sebagai lahan pertanian,
▪ Mengolah limbah terlebih dahulu sebelum dibuang kelingkungan,
▪ Menggunakan bahan-bahan yang mudah diuraikan mikroorganisme di tanah,
▪ Melakukan upaya remidiasi, yaitu membersihkan permukaan tanah dari berbagai macam polutan.
Aksi nyata yang dilakukan oleh IPM melalui gerakan lingkungan hidup merupakan perwujudan nyata atas respon pelajar terhadap keadaan bumi saat ini, Mungkin IPM adalah satu-satunya organisasi pelajar yang fokus terhadap isu lingkungan.
Setiap pergantian periodeisasi PP IPM konsepsi ekologi masih tercipta hingga sekarang bahkan berkembang membuat sebuah lembaga khsusus menangani persoalan lingkungan. Kerja-kerja lingkungan hidup menjadi tawaran konkrit dan memperbanyak kader-kader yang peduli terhadap keberlangsungan aneka ragam perjuangan ekologis.
Sampah dan Pohon Berdasarkan data Jambeck (2015), Indonesia berada di peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut yang mencapai sebesar 187,2 juta ton setelah Cina yang mencapai 262,9 juta ton. Bahkan Dirjen Pengelolan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK Tuti Hendrawati Mintarsih menyebut total jumlah sampah Indonesia di 2019 akan mencapai 68 juta ton, dan sampah plastik diperkirakan akan mencapai 9,52 juta ton atau 14 persen dari total sampah yang ada.
Artinya Indonesia dengan garis pantai yang membentang luas menghasilkan sampah plastik yang begitu banyak dalam satu tahunnya. Bahkan ada kasus seekor paus sperma (Physeter macrocephalus) ditemukan warga terdampar di sekitar Pulau Kapota, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Paus sepanjang 9,5 meter dan memiliki lebar 1,85 meter itu ditemukan dalam kondisi sudah jadi bangkai. Saat perut paus dibelah, ternyata di dalamnya juga berisi beragam sampah plastik seberat kurang lebih 6 kilogram. Sampah-sampah dalam perut paus itu terdiri dari plastik keras 19 buah seberat 140 gram, botol plastik 4 buah 150 gram, kantong plastik 25 buah 260 gram. Ada pula sepasang sandal jepit seberat 270 gram hingga tali rafia 3,6 kilogram dan gelas-gelas plastik.
Bahkan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengestimasi bahwa hanya punya waktu hingga 2030 untuk mencegah krisis iklim yang rusak termasuk krisis air, bencana besar dan hilangnya tepat tinggal. Kurang lebih perlu sekitar 11 tahun untuk memulihkan krisis iklim ini.
Mari bantu bumi dalam menghadapi kerusakan bumi, hal ini bukan persoalan beberapa pihak melainkan seluruh masyarakat termasuk pelajar terutama pelajar Muhammadiyah dalam menyelamatkan lingkungan hidup.